Minggu, 22 Juli 2012

Ikhwal (ke)arbitrer(an) bahasa


Bahasa itu adalah kekayaan bersama, kekayaan sosial”
(Chaedar Alwasilah)

Bahasa sering di definisikan sebagai suatu lambang arbitrer yang disepakati sebagai alat berkomunikasi. Masih terdapat banyak persepsi dan pandangan yang berbeda dalam mengartikan makna dari kata arbitrer tersebut. Arbitrer sering di definisikan dengan ungkapan ‘mana suka’. Mana suka yang seperti apa yang di maksud?

“saya pergi ke sekolah” bagaimana kalau kalimat tersebut di ucapkan seperti ini “pergi ke saya sekolah” apakah boleh/benar? Tentunya ungkapan yang kedua akan disalahkan oleh orang yang mendengarnya. Mengapa disalahkan? Kan katanya bahasa itu arbitrer, jadi suka-suka saya aja mau bilang apa juga? Jadi mana sebetulnya makna dari arbitrer itu sendiri, apakah arbitrer itu adalah kebebasan dalam menggunakan bahasa ataukah bagaimana?

Ternyata setelah pengkajian secara mendalam; yang dimaksud dengan kearbitreran bahasa itu tergantung kepada kesepakatan untuk bisa diterima. Apabila tidak ada yang menyetujui kata-kata bebas yang kit katakana, maka kata tersebut tidak akan menjadi sebuah system bahasa. Karena suatu bahasa menjadi system itu menjalani beberapa proses yang lumayan panjang. Jadi pengertian diatas bahwa bahasa itu terbentuk dari lambing arbitrer yang disepakati, masih kurang tepat karena tidak hanya kesepakatan namun butuh waktu yang lama dan berkonvensi menjadi norma.

Sebetulnya hal ini berhubungan dengan teori Savir_Whorf; yaitu bahasa tidak akan bisa lepas dari konteks budaya dan konvensi sosial. Hal tersebut juga diperkuat oleh Chaedar Alwasilah bahwa bahasa itu adalah kekayaan bersama,kekayaan sosial. Dalam berbahasa pada awalnya terdapat suatu bunyi yang muncul secara arbitrer atau manasuka dan kemudian disepakati untuk dipakai bersama secara konvensional. Setelah itu munculah kosakata yang digunakan hasil dari kesepakatan tersebut. selanjutnya kosakata tersebut akan mengakar dalam budaya masyarakat dalam waktu yang lama dan menjadi kebiasaan. Setelah sebuah kosakata-kosakata yang ada tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka yang akan muncul adalah norma atau aturan system berbahasa.

Kalimat “saya pergi ke sekolah” diatas tentunya sudah menjadi system dan norma. Mungkin sebelumnya kita pernah bertanya-tanya megapa urutannya harus seperti itu. Kenapa ‘saya’ harus disimpan diawal sedangkan ‘sekolah’ disimpannya diakhir kalimat. Apabila ada seseorang yang menyalahi system tersebut tentunya masyarakat akan memandangnya salah, tidak baik dan tidak benar. Semua itu karena system bahasa tersebut sudah mengakar dan menjadi norma yang harus dipatuhi oleh setiap masyarakatnya.

Semua penutur dituntut untuk turut dan tunduk pada system bahasa tersebut yang sudah menjadi norma. Apabila ada penutur yang melanggarnya, mungkin bisa saja orang tersebut dikucilkan dan mendapatkan penolakan dari masyarakat sosial. Dan penolakan tersebut akan menghambat orang tersebut untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat lainnya. jelas bahwa peran budaya dalam bermasyarakat haruslah diperhatikan karena bahasa tidak lepas dari unsur budaya. //[as_kos]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar