
Secara hakikat, bahasa itu bersipat netral; yaitu hanya sebagai alat komunikasi antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia yang lainnya, dan tuhan dengan semua makhluknya. Namun ketika sudah masuk kepada ranah sosial yaitu kepada pengguna bahasa yang berbeda dalam wilayah-wilayah tertentu, maka kedudukan bahasapun mempunyai masalah tersendiri. Masalah yang terjadi salah satunya adanya stereotip gender antara kaum laki-laki dan perempuan.
Semua permasalahan tersebut muncul karena terciptanya jenis bahasa tertentu terbentuk secara konvensi; yaitu dalam lingkungan masyarakat yang didalamnya tidak terlepas dari yang namanya budaya, kepercayaan dan lain, lain.
Bahasa yang mengindikasikan adanya perbedaan antara gender; laki-laki dan perempuan disebut dengan bahasa seksist (sexism language). Salah satu bahasa yang mempunyai banyak seksism language didalamnya adalah bahasa inggris. Mengapa seperti itu? Mungkin seperti yang kita tahu bahwa keberadaan wanita dalam kehidupan sosial inggris dari jaman dahulu dan bahkan sampai saat ini- juga masih ada yang seperti itu, yaitu menganggap wanita dari sudut panang yang hina.
Pada abad ke 18 ketika dua universitas besar di inggris yaitu Oxford dan Cambridge berdiri, yang ada hanyalah kaum laki-laki saja, sedangkan mereka kaum wanita tidak diperbolehkan untuk mengenyam bangku sekolah.
Dari keadaan tersebut maka munculah dan berkembanglah bahasa-bahasa seksisme yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Kemudian hal tersebut berimpact pada bahasa-bahasa yang tercipta terutama penyebutan-penyebutan nama-nama profesi; sailorman, postman, dsb. Penambahan kata “man” disana memang tidak jelas apakah merujuk pada “men” (laki-laki) atau pada “all people” (semua orang baik wanita ataupun laki-laki).
Dari seksisme bahasa secara gramatika yang seperti itu, kemudian menyebar ke beberapa Negara di dunia ini yang dimasuki oleh bahasa inggris, yaitu termasuk di Indonesia. Di Indonesia penyebaran dan penggunaan bahasa seksisme sunggung sangat marak dan salah satunya adalah pengaryh dari bahasa inggris. Sama halnya dengan penyebutan profesi dalam bahasa inggris, dalam bahasa Indonesia-pun mempunyai stereotif yang sama; contohnya sangat banyak misalnya kata “mahasiswa” mahasiswa mempunyai dua pengertian yaitu penyebutan pada “seorang laki-laki yang mengenyam pendidikan di Universitas” dan juga “sebutan kepada siapa saja yang sedang menempuh pendidikan di universitas baik laki-laki atau perempuan”, selain itu ada kata sastrawan namun tidak ada kata sastrawati, ada kata negarawan namun tak ada kata negarawati, ada kata agamawan namun tidak ada kata agamawati, dan banyak lagi yang lainnya.
Dari kata-kata tersebut ditunjukan bahwa posisi wanita sangat disudutkan, bahasa yang harusnya dia punyainya sendiri, namun terpaksa harus masuk kedalam lingkaran istilah laki-laki. Kata wanita dan perempuan juga merupakan sebuah stereotip; kata “wanita” itu lebih terhormat daripada kata “perempuan” karena “perempuan” berasal dari kata “puan” yang artinya “harus menuruti suami”
Di Indonesia berkembangnya bahasa seksisme ini sungguh sangat massif, terbentuk secara cultural yang bahka dipupuk di institusi pendidikan. Kita bisa lihat dan temui atau bahkan kita juga sudah mengalami tentang mata pelajaran yang sering disampaikan dalam pembelajaran di kelas terutama waktu sekolah dasar.
Salah satu contoh, dalam pelajaran bahasa Indonesia dalam buku ataupun gurunya sendiri sering mengatakan kalimat-kalimat yang menempatkan posisi perempuan dalam kedaan rendah. Misalnya “ibu sedang memasak didapur” sedangkan “ayah membaca Koran”, ini menunjukan adanya stereotip yang kemudian melahirkan banyak kata-kata stereotip yang lainnya.
Bagaimana reaksi kaum wanita?
Kalau di eropa termasuk inggris dan amerika penggunaan kata-kata yang berbau stereotip seperti itu sudah mulai dihindari dan bahkan dilarang, karena itu akan menimbulkan kesenjangan dan penolakan dari kaum wanita. Bahkan yang lebih ekstrimnya lagi muncul gerakan-gerakan wacana kesetaraan dari kaum wanita tersebut agar bisa diperlakukan sama dengan kaum laki-laki. Maka respon dari mereka kaum laki-laki lebih mencari jalur aman dengan mengatakan kata-kata yang bersifat netral saja; artinya tidak ada unsure stereotif gender. Misalnya penyebutan “salesman” atau “salesgirl” diganti dengan yang lebih netral yaitu “salesperson”.
Bagaimana dengan wanita Indonesia?
Dari beberapa hasil analisis dan interview saya terhadap beberapa orang ternyata masih yang tidak peduli, dan bahkan sebagian wanita tersebut tidak mengetahui tentang stereotip bahasa tersebut. Bahkan kebanyakan mahasiswi juga mereka tidak mengetahui hal tersebut, dan bahkan setelah ditanya mau seperti apa? Mereka hanya menerima itu apa adanya. Ya sebetulnya saya juga bingung apakah ini perlu diluruskan atau tidak, karena permasalahannya ini sudah mengakar kuat secara kultural dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin selama para wanita tidak menjadikan itu sebagai sebuah masalah, maka baik-baik saja tak ada yang perlu dirubah. Namun disini saya hanya menginformasikan sekaligus membuka fenomena penggunaan bahasa yang dilihat dari sudut pandang gender, juga tugas saya sebagai seorang (calon) ahli bahasa, amiiin.. Hasilnya pengguaan bahasa yang ada masih banyak yang menyudutkan kaum perempuan dengan stereotip gender-nya baik secara gramatikal bahasa maupun secara semantic.
*penulis adalah mahasiswa konsentrasi linguistik UIN Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar