Kamis, 14 Juni 2012

Istilah “Mahasiswa”; [Kajian seksisme bahasa dalam stereotip gender]


[oleh: Asep Koswara]Ketika kita mendengar kata “mahasiswa” sekiranya ada dua makna dan pengertian yang muncul dipikiran kita. Pertama pikiran kita akan mereferensi bahwa mahasiswa adalah sebutan yang ditunjukan kepada mereka yang sedang menuntut ilmu / belajar di universitas atau perguruan tinggi. Yang kedua referensi kepada mereka kaum laki-laki saja yang sama yaitu sedang belajar di universitas atau perguruan tinggi. 

Kedua pengertian tersebut muncul karena dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda; yaitu dari sudut pandang kedudukan secara umum, dan yang kedua dari jenis kedudukan juga namun disertai dengan jenis kelamin. Dari segi jenis kelamin dikenal dengan istilah mahasiwa (laki-laki) dan mahasiswi (perempuan), pertanyaannya mengapa istiliah secara umum terhadap kedua jenis kelamin tersebut harus mengambil istilah dari penyebutan jenis kelamin laki-laki yaitu “mahasiswa”? mengapa tidak “mahasiswi”? Ataupun membuat istilah baru (bukan mahasiswa dan bukan pula mahasiswi)?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut sangatlah mudah dan bisa dijawab. Jawabannya adalah karena masyarakat Indonesia masih menganut system patiarki; yang artinya kaum laki-laki mempunyai dominasi lebih kuat daripada kaum perempuan. Hal tersebut terus terbangun dari sejak dulu, sehingga mempengaruhi seluruh system sosial, budaya dan kemasyarakatan yang ada. seluruh segi kehidupan di dominasi oleh system laki-laki, termasuk dalam bahasa. Bahasa yang digunakan terutama dalam penyebutan sesuatu banyak di dominasi oleh relevansi bahasa laki-laki penyebutan istilah “mahasiswa” adalah salah satunya.

Adanya dominasi patriarki dalam bahasa, disebut dengan istilah seksisme bahasa dan dalam bahasanya disebut dengan “bahasa seksist”. Bahasa seksist (Stromquist, 1999 adalah bahasa yang mengandung makna atau merefresentasikan identitas gender secara tidak adil terutama dalam hal pemilihan kosakata – sebutan atau penggunaan pronomina generic maskulin. 

Kata “mahasiswa” diatas termasuk kedalam bahasa seksist; karena nama penggeneralisasian secara umum dalam penyebutan orang yang sedang menempuh pembelajaran di universitas atau perguruan tinggi itu, diambil dari istilah penyebutan secara sudut pandang jenis kelamin laki-laki. Hal tersebut apabila dilihat dari kacamata kesetaraan gender, adalah sebuah ketidakadilan. Ketidakadilan terjadi dari segi bahasa dimana penggunaan bahasa laki-laki mempunyai dominasi yang kuat dan tinggi dalam ranah kehidupan sosial. 

Bagaimana kata-kata seksist tersebut terbentuk?

Bahasa seksist (Nur Mukminatien, 2010) muncul karena ketidaktepatan memilih kosakata yaitu penggunaan kata-kata yang maknanya tidak secara inklusif (tidak mewakili kedua jenis kelamin; laki-laki dan perempuan). Dengan ketidaktepatan tersebut maka akan berpotensi untuk memunculkan kata-kata yang lebih meninggikan dominasi laki-laki dari perempuan. Selain itu (wijayanto, 2006) ada faktor lain juga yang mempengaruhi hal tersebut dan ini biasanya tertanam sejak dini; yaitu dengan adanya istilah-istilah seksist yang diberikan pada buku-buku teks di sekolah. 

Istilah-istilah yang ada sebetulnya bisa berupa tersirat atau bahasa seksis secara semantic (semantic sexism). Salah satu contoh “nama kepala sekolahku bernama pak Dani” “Rini bekerja sebagai pembantu”. Dari kedua kaliamat diatas secara literal tidak menunjukan sebagai bahasa seksist namun secara figurative itu adalah sebuah seksisme bahasa; karena ada pihak yaitu”pak dani” adalah kaum laki-laki yang mendapatkan jabatan tinggi, sedangkan “Rini” hanya sebagai pembantu. 

Dari hal seperti itulah bahasa-bahasa seksist muncul, seperti contoh ada kata sastrawan namun tak ada kata sastrawati, ada kata negarawan namun tak ada kata negarawati, dan banyak lagi yang lainnya. Meskipun hal tersebut diadakan maka tetap akan terlihat ganjil dan dianggap tidak cocok. Hal itu disebabkan karena adanya dominasi laki-laki terutama dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi budaya patiarki. 

Istilah “mahasiswa” sendiri apabila sedikit ditelusuri dari sejarahnya. Hal itu bermula dari kondisi manusia Indonesia sendiri yaitu dimana dulu orang yang dibolehkan bersekolah itu hanya kaum laki-laki saja bahkan itu-pun hanya dari kalangan elit saja. Bahkan pada jaman belanda yang bisa mengenyam pendidikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP dan AMS (Algemeene Middlebare School) setingkat SMA hanya beberapa orang saja, itupun pasti mereka dari kalangan tertentu. Jadi bisa dipastikan istilah mahasiswa ataupun siswa yang terlebih dahulu ada, disbanding mahasiswi atau siswi. 

Bagaimana respon dari mahasisiswi Indonesia?

Pernah suatu ketika saya mencoba menanyakan terhadap beberapa mahasiswi tentang adanya ketidaksetaraan dalam bentuk bahasa ini. Saya coba jelaskan beberapa fakta salahsatunya adalah penyebutan istilah “mahasiswa” ini. Ternyata jawaban yang saya dapatkan 9 dari 10 mahasiswi tidak menyadari tentang adanya ketidaksetaraan tersebut. pertanyaan selanjutnya yang saya ajukan adalah bagaimana kalau sudah tahu seperti ini? Apa yang akan anda lakukan? Anda tidak merasa tersudutkan dan lebih inferior daripada kaum laki-laki? 

Kesimpulan jawaban pertanyaan itu, semuanya tidak merasa keberatan dan mereka tidak merasa tertindas, mereka baik-baik saja. Dari jawaban tersebut bisa diketahui bahwa dalam konteks Indonesia kehidupan patiarki memang masih tertanam erat dan dipegang teguh, dan tidak salah apabila kata-kata dalam bahasa seksist-pun akan tetap terpelihara dan subur berkembang. 

Berbeda dengan yang terjadi di belahan Negara maju, disana muncul gerakan-gerakan yang mengkritisi adanya ketidaksetaraan dari berbagai sisi termasuk segi penggunaan bahasa. Di inggris misalnya penggunaan kata-kata yang berbau stereotip sudah mulai dihindari bahkan dilarang, karena itu akan menimbulkan kesenjangan dan penolakan dari kaum wanita. Maka solusi dari kaum pria, mereka lebih berhati-hati dan lebih memilih kata-kata yang bersipat umum –yang juga kiranya tidak memunculkan resistensi.

*penulis adalah mahasiswa konsentrasi Linguistik, Bahasa dan Sastra Inggris UIN Bandung

Sabtu, 02 Juni 2012

Senyumanmu

Seyum itu,
Dalam menusuk hatiku
Peka merangsang hasratku
Indah, buatku terpaku

Dulu, suatu waktu
Bahkan saat lihat dirimu
Bergetar tanganku
Dalam menuju getaranku
Kamu, senyumu selalu

Saat kau pegang pinggangku
Lalu berteduh dibelakang jiwaku
Aku rasa sedikit haru
Lagi-lagi dan lagi
Kamu, senyumu selalu

Perjalanan ini mungkin melelahkanku
Merobek kejenuhanku, mematahkan tulangku
Namun tak perlu ragu
Saja hanya dengan elihatmu
Kamu, senyumu selalu

Asep Koswara, Jogjakarta, 2012

Seksisme bahasa: fenomena stereotip gender

Oleh Asep Koswara

Secara hakikat, bahasa itu bersipat netral; yaitu hanya sebagai alat komunikasi antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia yang lainnya, dan tuhan dengan semua makhluknya. Namun ketika sudah masuk kepada ranah sosial yaitu kepada pengguna bahasa yang berbeda dalam wilayah-wilayah tertentu, maka kedudukan bahasapun mempunyai masalah tersendiri. Masalah yang terjadi salah satunya adanya stereotip gender antara kaum laki-laki dan perempuan. 

Semua permasalahan tersebut muncul karena terciptanya jenis bahasa tertentu terbentuk secara konvensi; yaitu dalam lingkungan masyarakat yang didalamnya tidak terlepas dari yang namanya budaya, kepercayaan dan lain, lain. Bahasa yang mengindikasikan adanya perbedaan antara gender; laki-laki dan perempuan disebut dengan bahasa seksist (sexism language). Salah satu bahasa yang mempunyai banyak seksism language didalamnya adalah bahasa inggris. Mengapa seperti itu? Mungkin seperti yang kita tahu bahwa keberadaan wanita dalam kehidupan sosial inggris dari jaman dahulu dan bahkan sampai saat ini- juga masih ada yang seperti itu, yaitu menganggap wanita dari sudut panang yang hina. 

Pada abad ke 18 ketika dua universitas besar di inggris yaitu Oxford dan Cambridge berdiri, yang ada hanyalah kaum laki-laki saja, sedangkan mereka kaum wanita tidak diperbolehkan untuk mengenyam bangku sekolah. Dari keadaan tersebut maka munculah dan berkembanglah bahasa-bahasa seksisme yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Kemudian hal tersebut berimpact pada bahasa-bahasa yang tercipta terutama penyebutan-penyebutan nama-nama profesi; sailorman, postman, dsb. Penambahan kata “man” disana memang tidak jelas apakah merujuk pada “men” (laki-laki) atau pada “all people” (semua orang baik wanita ataupun laki-laki). 

Dari seksisme bahasa secara gramatika yang seperti itu, kemudian menyebar ke beberapa Negara di dunia ini yang dimasuki oleh bahasa inggris, yaitu termasuk di Indonesia. Di Indonesia penyebaran dan penggunaan bahasa seksisme sunggung sangat marak dan salah satunya adalah pengaryh dari bahasa inggris. Sama halnya dengan penyebutan profesi dalam bahasa inggris, dalam bahasa Indonesia-pun mempunyai stereotif yang sama; contohnya sangat banyak misalnya kata “mahasiswa” mahasiswa mempunyai dua pengertian yaitu penyebutan pada “seorang laki-laki yang mengenyam pendidikan di Universitas” dan juga “sebutan kepada siapa saja yang sedang menempuh pendidikan di universitas baik laki-laki atau perempuan”, selain itu ada kata sastrawan namun tidak ada kata sastrawati, ada kata negarawan namun tak ada kata negarawati, ada kata agamawan namun tidak ada kata agamawati, dan banyak lagi yang lainnya. 

Dari kata-kata tersebut ditunjukan bahwa posisi wanita sangat disudutkan, bahasa yang harusnya dia punyainya sendiri, namun terpaksa harus masuk kedalam lingkaran istilah laki-laki. Kata wanita dan perempuan juga merupakan sebuah stereotip; kata “wanita” itu lebih terhormat daripada kata “perempuan” karena “perempuan” berasal dari kata “puan” yang artinya “harus menuruti suami” Di Indonesia berkembangnya bahasa seksisme ini sungguh sangat massif, terbentuk secara cultural yang bahka dipupuk di institusi pendidikan. Kita bisa lihat dan temui atau bahkan kita juga sudah mengalami tentang mata pelajaran yang sering disampaikan dalam pembelajaran di kelas terutama waktu sekolah dasar. 

Salah satu contoh, dalam pelajaran bahasa Indonesia dalam buku ataupun gurunya sendiri sering mengatakan kalimat-kalimat yang menempatkan posisi perempuan dalam kedaan rendah. Misalnya “ibu sedang memasak didapur” sedangkan “ayah membaca Koran”, ini menunjukan adanya stereotip yang kemudian melahirkan banyak kata-kata stereotip yang lainnya. Bagaimana reaksi kaum wanita? Kalau di eropa termasuk inggris dan amerika penggunaan kata-kata yang berbau stereotip seperti itu sudah mulai dihindari dan bahkan dilarang, karena itu akan menimbulkan kesenjangan dan penolakan dari kaum wanita. Bahkan yang lebih ekstrimnya lagi muncul gerakan-gerakan wacana kesetaraan dari kaum wanita tersebut agar bisa diperlakukan sama dengan kaum laki-laki. Maka respon dari mereka kaum laki-laki lebih mencari jalur aman dengan mengatakan kata-kata yang bersifat netral saja; artinya tidak ada unsure stereotif gender. Misalnya penyebutan “salesman” atau “salesgirl” diganti dengan yang lebih netral yaitu “salesperson”. 

Bagaimana dengan wanita Indonesia? 

Dari beberapa hasil analisis dan interview saya terhadap beberapa orang ternyata masih yang tidak peduli, dan bahkan sebagian wanita tersebut tidak mengetahui tentang stereotip bahasa tersebut. Bahkan kebanyakan mahasiswi juga mereka tidak mengetahui hal tersebut, dan bahkan setelah ditanya mau seperti apa? Mereka hanya menerima itu apa adanya. Ya sebetulnya saya juga bingung apakah ini perlu diluruskan atau tidak, karena permasalahannya ini sudah mengakar kuat secara kultural dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin selama para wanita tidak menjadikan itu sebagai sebuah masalah, maka baik-baik saja tak ada yang perlu dirubah. Namun disini saya hanya menginformasikan sekaligus membuka fenomena penggunaan bahasa yang dilihat dari sudut pandang gender, juga tugas saya sebagai seorang (calon) ahli bahasa, amiiin.. Hasilnya pengguaan bahasa yang ada masih banyak yang menyudutkan kaum perempuan dengan stereotip gender-nya baik secara gramatikal bahasa maupun secara semantic. 

*penulis adalah mahasiswa konsentrasi linguistik UIN Bandung