[oleh: Asep Koswara]Ketika
kita mendengar kata “mahasiswa” sekiranya ada dua makna dan pengertian yang
muncul dipikiran kita. Pertama pikiran kita akan mereferensi bahwa mahasiswa
adalah sebutan yang ditunjukan kepada mereka yang sedang menuntut ilmu /
belajar di universitas atau perguruan tinggi. Yang kedua referensi kepada
mereka kaum laki-laki saja yang sama yaitu sedang belajar di universitas atau
perguruan tinggi.
Kedua
pengertian tersebut muncul karena dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda;
yaitu dari sudut pandang kedudukan secara umum, dan yang kedua dari jenis
kedudukan juga namun disertai dengan jenis kelamin. Dari segi jenis kelamin
dikenal dengan istilah mahasiwa (laki-laki) dan mahasiswi (perempuan),
pertanyaannya mengapa istiliah secara umum terhadap kedua jenis kelamin
tersebut harus mengambil istilah dari penyebutan jenis kelamin laki-laki yaitu
“mahasiswa”? mengapa tidak “mahasiswi”? Ataupun membuat istilah baru (bukan
mahasiswa dan bukan pula mahasiswi)?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut sangatlah mudah dan bisa dijawab. Jawabannya
adalah karena masyarakat Indonesia masih menganut system patiarki; yang artinya
kaum laki-laki mempunyai dominasi lebih kuat daripada kaum perempuan. Hal
tersebut terus terbangun dari sejak dulu, sehingga mempengaruhi seluruh system
sosial, budaya dan kemasyarakatan yang ada. seluruh segi kehidupan di dominasi
oleh system laki-laki, termasuk dalam bahasa. Bahasa yang digunakan terutama
dalam penyebutan sesuatu banyak di dominasi oleh relevansi bahasa laki-laki
penyebutan istilah “mahasiswa” adalah salah satunya.
Adanya
dominasi patriarki dalam bahasa, disebut dengan istilah seksisme bahasa dan dalam
bahasanya disebut dengan “bahasa seksist”. Bahasa seksist (Stromquist, 1999
adalah bahasa yang mengandung makna atau merefresentasikan identitas gender
secara tidak adil terutama dalam hal pemilihan kosakata – sebutan atau
penggunaan pronomina generic maskulin.
Kata
“mahasiswa” diatas termasuk kedalam bahasa seksist; karena nama
penggeneralisasian secara umum dalam penyebutan orang yang sedang menempuh
pembelajaran di universitas atau perguruan tinggi itu, diambil dari istilah
penyebutan secara sudut pandang jenis kelamin laki-laki. Hal tersebut apabila
dilihat dari kacamata kesetaraan gender, adalah sebuah ketidakadilan.
Ketidakadilan terjadi dari segi bahasa dimana penggunaan bahasa laki-laki
mempunyai dominasi yang kuat dan tinggi dalam ranah kehidupan sosial.
Bagaimana
kata-kata seksist tersebut terbentuk?
Bahasa
seksist (Nur Mukminatien, 2010) muncul karena ketidaktepatan memilih kosakata
yaitu penggunaan kata-kata yang maknanya tidak secara inklusif (tidak mewakili
kedua jenis kelamin; laki-laki dan perempuan). Dengan ketidaktepatan tersebut
maka akan berpotensi untuk memunculkan kata-kata yang lebih meninggikan
dominasi laki-laki dari perempuan. Selain itu (wijayanto, 2006) ada faktor lain
juga yang mempengaruhi hal tersebut dan ini biasanya tertanam sejak dini; yaitu
dengan adanya istilah-istilah seksist yang diberikan pada buku-buku teks di
sekolah.
Istilah-istilah
yang ada sebetulnya bisa berupa tersirat atau bahasa seksis secara semantic
(semantic sexism). Salah satu contoh “nama kepala sekolahku bernama pak Dani”
“Rini bekerja sebagai pembantu”. Dari kedua kaliamat diatas secara literal
tidak menunjukan sebagai bahasa seksist namun secara figurative itu adalah
sebuah seksisme bahasa; karena ada pihak yaitu”pak dani” adalah kaum laki-laki
yang mendapatkan jabatan tinggi, sedangkan “Rini” hanya sebagai pembantu.
Dari
hal seperti itulah bahasa-bahasa seksist muncul, seperti contoh ada kata
sastrawan namun tak ada kata sastrawati, ada kata negarawan namun tak ada kata
negarawati, dan banyak lagi yang lainnya. Meskipun hal tersebut diadakan maka
tetap akan terlihat ganjil dan dianggap tidak cocok. Hal itu disebabkan karena
adanya dominasi laki-laki terutama dalam masyarakat yang masih menjunjung
tinggi budaya patiarki.
Istilah
“mahasiswa” sendiri apabila sedikit ditelusuri dari sejarahnya. Hal itu bermula
dari kondisi manusia Indonesia sendiri yaitu dimana dulu orang yang dibolehkan
bersekolah itu hanya kaum laki-laki saja bahkan itu-pun hanya dari kalangan
elit saja. Bahkan pada jaman belanda yang bisa mengenyam pendidikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat
SMP dan AMS (Algemeene Middlebare School)
setingkat SMA hanya beberapa orang saja, itupun pasti mereka dari kalangan
tertentu. Jadi bisa dipastikan istilah mahasiswa ataupun siswa yang terlebih
dahulu ada, disbanding mahasiswi atau siswi.
Bagaimana
respon dari mahasisiswi Indonesia?
Pernah
suatu ketika saya mencoba menanyakan terhadap beberapa mahasiswi tentang adanya
ketidaksetaraan dalam bentuk bahasa ini. Saya coba jelaskan beberapa fakta
salahsatunya adalah penyebutan istilah “mahasiswa” ini. Ternyata jawaban yang
saya dapatkan 9 dari 10 mahasiswi tidak menyadari tentang adanya
ketidaksetaraan tersebut. pertanyaan selanjutnya yang saya ajukan adalah
bagaimana kalau sudah tahu seperti ini? Apa yang akan anda lakukan? Anda tidak
merasa tersudutkan dan lebih inferior daripada kaum laki-laki?
Kesimpulan jawaban
pertanyaan itu, semuanya tidak merasa keberatan dan mereka tidak merasa
tertindas, mereka baik-baik saja. Dari jawaban tersebut bisa diketahui bahwa
dalam konteks Indonesia kehidupan patiarki memang masih tertanam erat dan
dipegang teguh, dan tidak salah apabila kata-kata dalam bahasa seksist-pun akan
tetap terpelihara dan subur berkembang.
Berbeda dengan yang
terjadi di belahan Negara maju, disana muncul gerakan-gerakan yang mengkritisi
adanya ketidaksetaraan dari berbagai sisi termasuk segi penggunaan bahasa. Di
inggris misalnya penggunaan kata-kata yang berbau stereotip sudah mulai
dihindari bahkan dilarang, karena itu akan menimbulkan kesenjangan dan
penolakan dari kaum wanita. Maka solusi dari kaum pria, mereka lebih
berhati-hati dan lebih memilih kata-kata yang bersipat umum –yang juga kiranya
tidak memunculkan resistensi.
*penulis adalah mahasiswa konsentrasi Linguistik, Bahasa dan Sastra Inggris UIN Bandung