Minggu, 29 Juli 2012

Spekulasi ikhwal bahasa


Para ahli bahasa pada abad pertengahan telah melakukan beberapa penelitian mengenai asal mula bahasa. Metode yang digunakan oleh mereka adalah metode spekulasi dan juga lebih menitik beratkan pada de modis significandi yaitu tentang cara memberi makna. Adapun jenis tulisan pada masa tersebut mereka disebut dengan kaum modistae.

Beberapa anggapan yang berupa spekulasi tersebut yaitu menyatakan bahwa bahasa yang ada di dunia ini adalah satu. Bahasa tersebut adalah bahasa ibrani. Mengapa bahasa ibrani? Karena bahasa ibrani dianggap sebagai bahasa tertua di dunia-adapun alasannya

Selasa, 24 Juli 2012

Linguist tidak harus poliglotisme

“Seorang linguist hanya mempelajari, memahami dan menganalisis dari sudut linguistic saja”
_Chaedar Alwasilah
Linguist atau dalam bahasa Indonesianya adalah ahli bahasa, adalah sebuah sebutan pada seseorang yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan untuk menguraikan fakta-fakta ujaran, pola-pola bunyi, tata bahasa dan kosakata; misalnya yang terdapat dalam sebuah naskah. Dan tentunya yang dipelajari, pahami dan analisis hanya dari sudut pandang linguistic saja, tidak dengan hal lain sperti sastra.
Meskipun seorang ahli bahasa bergelut dengan bahasa namun tidak menjadi syarat bahwa seorang linguist itu harus poliglotisme. Poliglotisme berasal dari bahasa yunani (polys=banyak, glotta=bahasa) atau secara istilah adalah orang yang menguasai banyak bahasa. Seorang linguist mungkin saja bisa menguasai banyak bahasa, namun yang menjadikannya sebagi seorang ahli bahasa bukan lah dari segi poliglotisme tersebut.

Senin, 23 Juli 2012

Open system bahasa manusia


“Dengan bahasa, manusia akan sama sekali berbeda dengan mahluk ataupun sesama manusia lainnya”
_Howard Gardner
Bahasa memang merupakan suatu hal penting yang hanya diberikan kepada manusia. Namun tentunya bahasa yang tuhan berikan bukanlah jenis bahasa, namun organ-organ dan kemampuan yang tuhan berikan. Karena faktanya bahasa diwariskan secara konvensi dan bukan secara genetic.
Seseorang yang lahir ke dunia ini, tidak langsung dengan kemampuan berbahasanya. Bahasa hanya bisa diperoleh dengan cara diajarkan dan di pelajarinya melalui lingkungan sekitar. Anak dari pasangan suami istri orang Indonesia, ketika lahir diadopsi di amerika misalkan; ia tidak akan bisa berbahasa Indonesia karena lingkungan yang ada adalah lingkungan bahasa inggris.
Kesempurnaan organ fisik yang tuhan berikan kepada manusia sungguh mempunyai kelebihan dibanding dengan yang diberikan kepada binatang. Binatang tidak mempunyai kemampuan berbahasa sepeti manusia; ada sebagian yang mengatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa, namun dalam berkomunikasi mereka menggunakan insting.

Minggu, 22 Juli 2012

Bahasa sebagai kualitas sekunder


“Kehadiran segala sesuatu pada hakikatnya tidak ternamai ataupun terjelaskan”
_Tolle

Pernah ada sebuah perdebatan antara seorang mahasiswa dengan seorang professor filsafat. Mahasiswa itu mencoba kemampuan si Profesornya, dengan cara mengajukan pertanyaan yang sebetulnya dia sendiri mempunyai persepsi sendiri tentang hal yang ditanyakannya itu.

“Prof, apakah gelap itu ada?” tanya si mahasiswa.

 Lalu Prof. itu menjawab dengan tenang karena dia tahu arah dari pertanyaan mahasiswa tersebut, “iya ada”.

Dengan merasa benar si mahasiswa itu menjawab pertanyaannya sendiri, “sebetulnya gelap itu tidak ada, yang ada adalah ketiadaan cahaya Prof, kita bisa mempelajari cahaya tapi tidak bisa mempelajari gelap. Kita bisa menggunakan prisma newton untuk mengukur gelombang cahaya”

Dengan tersenyum si professor menjawab, “anda sudah melakukan kesalahan yaitu anda menggabungkan dua hal yang berbeda. Anda menggabungkan fenomena dengan kualitas sekunder, dalam logika berfikir yang beanr, kita tidak bisa mencampurkan hal tersebut. ‘gelap’ dan ‘terang’ hanya persepsi subjective manusia sebagai kualitas sekunder terhadap phenomena. Gelap dan terang adalah sebutan terhadap phenomena jumlah partikel foton yang ada. jumlah X foton yang manusia sebut sebagai gelap, belum tentu buat kucing; mungkin itu “cukup terang bagiku”. Ketika gelap dan terang dihapuskan, apakah fenomena tersebut masih akan tetap ada? tentunya pasti akan tetap ada.”

Dari hasil perdebatan diatas jelas menunjukan bahwa ternyata bahasa mempunyai keterbatasan, dimana bahasa hanya bersifat subjektif yang di persepsi manusia terhadap suatu fenomena saja. setiap realitas empiris atau fenomena yang ditemui, dialami dan dirasakan oleh seseorang manusia terlalu sulit untuk diwadahi oleh bahasa. Bahasa hanya sebagai kualitas sekunder saja yang bersifat terbatas dan parsial. Realitas tentunya lebih jelas dibandingkan bahasa. Reaitas bersipat jelas dan objektif, jadi bagaimana mungkin yang kurang jelas menjelaskan yang lebih jelas. // [As_kos]

Ikhwal (ke)arbitrer(an) bahasa


Bahasa itu adalah kekayaan bersama, kekayaan sosial”
(Chaedar Alwasilah)

Bahasa sering di definisikan sebagai suatu lambang arbitrer yang disepakati sebagai alat berkomunikasi. Masih terdapat banyak persepsi dan pandangan yang berbeda dalam mengartikan makna dari kata arbitrer tersebut. Arbitrer sering di definisikan dengan ungkapan ‘mana suka’. Mana suka yang seperti apa yang di maksud?

“saya pergi ke sekolah” bagaimana kalau kalimat tersebut di ucapkan seperti ini “pergi ke saya sekolah” apakah boleh/benar? Tentunya ungkapan yang kedua akan disalahkan oleh orang yang mendengarnya. Mengapa disalahkan? Kan katanya bahasa itu arbitrer, jadi suka-suka saya aja mau bilang apa juga? Jadi mana sebetulnya makna dari arbitrer itu sendiri, apakah arbitrer itu adalah kebebasan dalam menggunakan bahasa ataukah bagaimana?

Ternyata setelah pengkajian secara mendalam; yang dimaksud dengan kearbitreran bahasa itu tergantung kepada kesepakatan untuk bisa diterima. Apabila tidak ada yang menyetujui kata-kata bebas yang kit katakana, maka kata tersebut tidak akan menjadi sebuah system bahasa. Karena suatu bahasa menjadi system itu menjalani beberapa proses yang lumayan panjang. Jadi pengertian diatas bahwa bahasa itu terbentuk dari lambing arbitrer yang disepakati, masih kurang tepat karena tidak hanya kesepakatan namun butuh waktu yang lama dan berkonvensi menjadi norma.

Sebetulnya hal ini berhubungan dengan teori Savir_Whorf; yaitu bahasa tidak akan bisa lepas dari konteks budaya dan konvensi sosial. Hal tersebut juga diperkuat oleh Chaedar Alwasilah bahwa bahasa itu adalah kekayaan bersama,kekayaan sosial. Dalam berbahasa pada awalnya terdapat suatu bunyi yang muncul secara arbitrer atau manasuka dan kemudian disepakati untuk dipakai bersama secara konvensional. Setelah itu munculah kosakata yang digunakan hasil dari kesepakatan tersebut. selanjutnya kosakata tersebut akan mengakar dalam budaya masyarakat dalam waktu yang lama dan menjadi kebiasaan. Setelah sebuah kosakata-kosakata yang ada tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka yang akan muncul adalah norma atau aturan system berbahasa.

Kalimat “saya pergi ke sekolah” diatas tentunya sudah menjadi system dan norma. Mungkin sebelumnya kita pernah bertanya-tanya megapa urutannya harus seperti itu. Kenapa ‘saya’ harus disimpan diawal sedangkan ‘sekolah’ disimpannya diakhir kalimat. Apabila ada seseorang yang menyalahi system tersebut tentunya masyarakat akan memandangnya salah, tidak baik dan tidak benar. Semua itu karena system bahasa tersebut sudah mengakar dan menjadi norma yang harus dipatuhi oleh setiap masyarakatnya.

Semua penutur dituntut untuk turut dan tunduk pada system bahasa tersebut yang sudah menjadi norma. Apabila ada penutur yang melanggarnya, mungkin bisa saja orang tersebut dikucilkan dan mendapatkan penolakan dari masyarakat sosial. Dan penolakan tersebut akan menghambat orang tersebut untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat lainnya. jelas bahwa peran budaya dalam bermasyarakat haruslah diperhatikan karena bahasa tidak lepas dari unsur budaya. //[as_kos]

Rabu, 04 Juli 2012

#buku "IMAJINASI: Rahasia Para Pemikir Besar


 Judul : IMAJINASI: Rahasia Para Pemikir Besar
Penulis : Asep Koswara
Halaman : 215 halaman
Penerbit : Allegiance Publishing
Cuaca semakin dingin dan poho-pohon menjadi beraneka warna, warna merah dan kuning bersinar seakan daun-daun merengkuh cahaya mentari musim gugur dan menebarkannya perlahan. Sawah-sawah dipenuhi tumpukan labu keemasan dan coklat kemerahan, serta pepohonan yang berubah apel-apel merah yang begitu harum sampai-sampai Anda dapat mencium sarinya.
Pakaian si pengemis yang bertelanjang kaki itu telah robek-robek, rambutnya semrawut. Dia dapat mencium aroma daging panggang dari dapur penduduk dan terbitlah air liurnya- dia belum makan sejak dua hari yang lalu. Putus asa, dia membuat api unggun kecil dipinggiran desa, meletakan pancinnya diatas api, dan menaruh sebuah batu didalam panci. “seandainya,” pikirnya, “batu ini dapat dimasak menjadi sup yang lejat.” Dia duduk diatas sebuah kotak, lalu membayangkan dirinya benar-benar sedang memasak sup.
Beberapa penduduk yang penasaran keluar dari rumahnya masing-masing dan berkumpul disekitar api. Mereka menanyakan apa yang sedang dimasaknya, lalu dia member tahu mereka tentang batu ajaib yang bisa dibuat sup yang sangat lezat. “Sup batu ini akan menjadi  lebih enak bila dicampur bunga es”, begitu katanya. Para penduduk terkagum-kagum dengan sup ini dan mulai berkomentar tentang aromanya yang wangi. Si pengemis mengundang mereka untuk makan bersama. Para penduduk yang bersemangat itu mengatakan bahwa mereka akan membawa makanan untuk melengkapi hidangan sup itu.
Mereka kembali membawa sayuran, buah, kalkun, daging, telur, dan sosis. “Sekarang marilah berdoa,” kata pendeta desa. Si pengemis berpikir, “saya berdoa supaya makanan ini tidak menjadi dingin sebelum dia selesei berdoa,” lalu si pengemis itu makan. Dia memakan segala yang terhidang, seakan-akan tidak ada hari esok. Dia memecahkan empat butir telur dengan ujung pisaunya dan memakannya dengan irisan daging goreng. Dia mengiris dua potong kalkun, memasukan daging kedalam mulutnya, lalu menambahkan kentang rebus dan kacang polong- lalu memotong sebongkah roti mentega dan melahapnya. Dia tidak menyadari bahwa para penduduk menghirup supnya bermangkok-mangkok selagi dia melahap segala yang ada di depannya termasuk separo kue stroberi.
Setelah selesai, dia terduduk selama beberapa saat, seolah tercenung. Lalu, dia bangkit, memungut batunya dan pergi. Dia sama sekali tidak menoleh kebelakang.

cerita diatas merupakan sebuah bentuk effek dari proses imajinasi.

Senin, 02 Juli 2012

#e-book "tuhan dan tukang cukur"

silahkan di download di link: http: http://www.ziddu.com/download/19834357/Tuhanntukangcukur.pdf.html

#buku "Mengapa harus bahasa Inggris?"

Judul : Mengapa harus bahasa Inggris?
Hal : 109 halaman
Penulis : Asep Koswara
Penerbit : Allegiance Publishing

Mungkin pernah atau sering terlintas dipikiran kita untuk bertanya mengapa harus bahasa inggris? mengapa bahasa inggris harus menjadi bahasa internasional? Kenapa perlu mempelajari bahasa inggris? Dan berbagai macam pertanyaan lainnya, namun kita tak pernah mendapatkan jawaban yang lengkap akan semua itu.

Bahasa inggris mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia masa kini. Kemampuan untuk menguasainnya sudah merupakan sebuah keharusan. Jika tidak ingin tertinggal dari peradaban kemajuan jaman sekarang, bahasa inggris adalah syarat pertama yang harus dikuasai. Kemudian pernahkah kita bertanya mengapa bisa seperti ini?

Bahasa inggris muncul dari dua Negara yaitu anglo saxon dan skandinavia, lalu kemudian bercampur sehingga mempunyai perubahan perubahan dari tiap periode yang terjadi. Kenapa terjadi perubahan?Perlu diketahui bahwa perkembangan bahasa itu sama tua-nya dan sama dengan perubahan pisik manusia. Karena hanya manusia saja yang mempunyai bahasa, maka bahasa mengalami perubahan karena adanya faktor meningkatnya keinginan manusia. Bahasa Inggris pada jaman purba, pada jaman pertengahan dan pada jaman modern sampai sekarang, bahasa inggris mengalami perubahan.

Dalam buku ini dibahas tentang sekelumit fakta, alasan, sejarah dan pendapat yang sering bergejolak, juga tentang pro-kontra yang terjadi, mengenai bahasa inggris. Selain itu juga dibahas tentang bahasa inggris, dalam konteks ke indonesiaan; baik pro kontra pendidikannya, juga sejarah perkembangannya.

silahkan download di link:  http://sasaka.minus.com/mbb6GF9zRn/

#buku "Mind-maps of English Grammar"

Judul : Mind-maps of English Grammar
Hal : 175 halaman
Penulis : Asep Koswara
Penerbit : Allegiance Publishing

“There is no stone or impediment in the wit, but may be wrought out by fit studies”
_Francis Bacon_


Francis Bacon dalam essay-nya yang berjudul “of study” mengatakan bahwa tidak ada hambatan dalam kecerdasan seseorang, yang ada hanyalah cara belajar yang kurang tepat dan bahkan mungkin salah. Ini mengindikasikan bahwa memahami cara belajar sangat-lah penting, bahkan bacon juga mengatakan bahwa “menghabiskan banyak waktu dalam belajar adalah sebuah kemalasan”. Ya, mungkin sangatlah berbeda dengan persepsi yang kita yakini selama ini; kita menganggap bahwa menghabiskan waktu dalam belajar bahkan sampai lupa tidur adalah suatu hal yang benar. Tahukah anda bahwa ternyata itu adalah hal yang salah? Dijaman yang serba digital ini mungkin menggunakan prinsif banyak waktu untuk belajar, sudah tidak relevan lagi. Jika kita menginginkan kualitas belajar yang dilakukan, maka yang dibutuhkan adalah energi, bukannya waktu.

Menurut (Tony Scwartz, 2005) Energilah faktor utama tingginya kualitas, dan bukan waktu. Kita tahu juga bahwa ukuran yang terpenting dalam hidup ini, bukanlah tentang seberapa waktu yang kita habiskan, namun seberapa banyak amal (didalamnya merupakan investasi energi) yang telah kita lakukan. Begitupun dalam belajar unsur terpentingnyaadalah bukan seberapa banyak waktu yang kita habiskan dalam belajar, namun seberapa banyak informasi/ilmu yang kita dapat dari hasil belajar tersebut.

Titik permasalahannya adalah ada pada menemukan gaya belajar yang cocok. Untuk mendapatkan-nya bisa dilakukan dengan cara observasi baik itu mencoba trik sendiri atau juga bisa dengan menguji gaya belajar orang lain. Setiap orang mungkin akan mempunyai cara yang berbeda dalam belajar, namun permasalahannya hanya sedikit orang yang bisa menemukan itu dan secara konsisten menerapkannya.


Menurut beberapa analisis yang dilakukan dengan interview kepada beberapa orang, memang sangat sulit ditemui orang yang mengenali cara belajarnya dengan baik dan juga mau mengamalkannya secara konsisten. Cara belajar mereka kadang berubah-rubah tergantung apa yang mereka pelajari dan kondisi yang dialaminya. Namun ini bukanlah sebuah masalah yang penting adalah adanya kemauan untuk terus mencoba, ketika mencoba suatu metode dan kemudian gagal, maka cobalah dengan metode yang lain.

Sebetulnya banyak sekali metode yang sudah ditemukan oleh beberapa ahli pembelajaran, ada quantumlearning, mind scaping, mind-mapping, dalam buku ini saya mencoba mengimplementasikan metode mind mapping dalam belajar grammar bahasa inggris.

silahkan hubungi toko buku terdekat,.

#buku "Ada Rasa yang tertinggal di mesjid bawah tanah"

Judul : Ada Rasa yang tertinggal di mesjid bawah tanah
Hal : 97 halaman
Penulis : Asep Koswara
Penerbit : Allegiance Publishing

Jam beker itu sontak buatku terbangun- awalnya ku lupa namun setelah pesan pendek itu kubaca, “oh iya”. Kubergegas lompat dan lari menuju armada. Perjalanan yang begitu melelahkan tak buatku jera, karena dia dan senyumannya. Senyuman itu selalu menghantui dan terekam kuat dalam memori otaku, mengalir dalam setiam trombosit darahku.

Senyuman yang bermula dari sebuah bangunan tua- sampai menyimpan sebuah rasa yang tertinggal disana. Rasa itu semakin kuat saat kau pegang pinggang dan berteduh dibelakangku. Ku hampir tak bisa tidur mengingat itu semua, pikiranku terus berkelana. Bahkan saat kuingat senyuman

itu, tubuhku lemas seakan tak berdaya- apa aku phobia? Tapi taka pa yang penting aku pernah merasakan suatu hal bahagia yang tak pernah terkira sebelmnya. Rasa cinta yang tumbuh segera Karen kedekatan fisik itu.

Tulisan ini adalah sebuah memeoar perjalanan penulis antara Bandung-Jogjakarta. Hal ini ditulis atas inspirasi dan rasa yang penulis dapatkan dalam perjalanantersebut. di inspirasi oleh seseorang yang menjadi secret admirer-nya (entah sampai kapan). Tulisan ini juga penulis sengaja dibuat untuk dipersembahkan kepadanya; semoga dia tahu perasaanku yang sebenarnya.

Disamping itu penulis juga mencoba menuangkan beberapa gagasan yang mungkin bisa bermanfaat. Tulisan-tulisan yang berupa respon terhadap pembacaan situasi Jogjakarta. Pengalaman pertama penulis berkunjung
kesana, jadi ada beberapa hal yang penulis identifikasi dan analisis tentang kota budaya tersebut.

silahkan download di link: http://sasaka.minus.com/mcTGosWzr/

#buku "Ekspresi Jiwa Mahasiswa"

Judul : Ekspresi jiwa mahasiswa
Hal : 175 halaman
Penulis : Asep Koswara
Penerbit : Allegiance Publishing

Dalam buku ini penulis mencoba menuangkan beberapa ekspresi; terutama lebih menekankan pada nila-nilai tinggi idealisme. Idealisme adalah harga mati. Ketika idealisme sudah tergadaikan, maka mahasiswa tak beda jauh dengan mereka para pencuri kekuasaan dan penggila jabatan.

Mahasiswa mempunyai nilai dan tanggung jawab yang besar dalam lingkungan dimana dia tinggal. Title mahasiswa sebagai agent of change, of social control dan sebagai elite intelektual, mengharuskan mahasiswa untuk memperkuat posisi independent dengan mengutamakan kepentingan umum / sosial.

Dalam diri mahasiswa itu terdapat tiga dimensi penting, pertama dimensi intelektual, kedua dimensi jiwa muda dan ketiga idealisme. Ketiga dimensi tersebut memang benar adanya, tak memandang siapa-pun dari kalangan manapun. Ketiga hal tersebut harus bisa disintesakan secara seimbang dan celaka apabila adanya diversifikasi yang timpang atau berat sebelah.

Adanya diversifikasi dengan memprioritaskan salah satu dimensi saja, akan berpengaruh pada tingkat kualitas dan citra mahasiswa itu sendiri. Fakta sekarang yang terjadi dalam dunia pendidikan dimensi intelektual terus dirangsang, sedangkan dimensi jiwa muda dan idealisme ditekan. Kita lihat mahasiswa cenderung dituntut untuk menjadi mekanis layaknya mesin-mesin, dengan tujuan terwujudnya masyarakat techno-structur. Sangat jarang dari begitu banyak jumlah mahasiswa yang mau terjun mengabdi ke masyarakat. Yang dipentingkan adalah bagaimana agar cepat lulus dan cepat mendapatkan pekerjaan.

silahkan download di link: http://www.ziddu.com/download/19530396/exspresiMahasiswa.jadi.pdf.html

Kamis, 14 Juni 2012

Istilah “Mahasiswa”; [Kajian seksisme bahasa dalam stereotip gender]


[oleh: Asep Koswara]Ketika kita mendengar kata “mahasiswa” sekiranya ada dua makna dan pengertian yang muncul dipikiran kita. Pertama pikiran kita akan mereferensi bahwa mahasiswa adalah sebutan yang ditunjukan kepada mereka yang sedang menuntut ilmu / belajar di universitas atau perguruan tinggi. Yang kedua referensi kepada mereka kaum laki-laki saja yang sama yaitu sedang belajar di universitas atau perguruan tinggi. 

Kedua pengertian tersebut muncul karena dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda; yaitu dari sudut pandang kedudukan secara umum, dan yang kedua dari jenis kedudukan juga namun disertai dengan jenis kelamin. Dari segi jenis kelamin dikenal dengan istilah mahasiwa (laki-laki) dan mahasiswi (perempuan), pertanyaannya mengapa istiliah secara umum terhadap kedua jenis kelamin tersebut harus mengambil istilah dari penyebutan jenis kelamin laki-laki yaitu “mahasiswa”? mengapa tidak “mahasiswi”? Ataupun membuat istilah baru (bukan mahasiswa dan bukan pula mahasiswi)?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut sangatlah mudah dan bisa dijawab. Jawabannya adalah karena masyarakat Indonesia masih menganut system patiarki; yang artinya kaum laki-laki mempunyai dominasi lebih kuat daripada kaum perempuan. Hal tersebut terus terbangun dari sejak dulu, sehingga mempengaruhi seluruh system sosial, budaya dan kemasyarakatan yang ada. seluruh segi kehidupan di dominasi oleh system laki-laki, termasuk dalam bahasa. Bahasa yang digunakan terutama dalam penyebutan sesuatu banyak di dominasi oleh relevansi bahasa laki-laki penyebutan istilah “mahasiswa” adalah salah satunya.

Adanya dominasi patriarki dalam bahasa, disebut dengan istilah seksisme bahasa dan dalam bahasanya disebut dengan “bahasa seksist”. Bahasa seksist (Stromquist, 1999 adalah bahasa yang mengandung makna atau merefresentasikan identitas gender secara tidak adil terutama dalam hal pemilihan kosakata – sebutan atau penggunaan pronomina generic maskulin. 

Kata “mahasiswa” diatas termasuk kedalam bahasa seksist; karena nama penggeneralisasian secara umum dalam penyebutan orang yang sedang menempuh pembelajaran di universitas atau perguruan tinggi itu, diambil dari istilah penyebutan secara sudut pandang jenis kelamin laki-laki. Hal tersebut apabila dilihat dari kacamata kesetaraan gender, adalah sebuah ketidakadilan. Ketidakadilan terjadi dari segi bahasa dimana penggunaan bahasa laki-laki mempunyai dominasi yang kuat dan tinggi dalam ranah kehidupan sosial. 

Bagaimana kata-kata seksist tersebut terbentuk?

Bahasa seksist (Nur Mukminatien, 2010) muncul karena ketidaktepatan memilih kosakata yaitu penggunaan kata-kata yang maknanya tidak secara inklusif (tidak mewakili kedua jenis kelamin; laki-laki dan perempuan). Dengan ketidaktepatan tersebut maka akan berpotensi untuk memunculkan kata-kata yang lebih meninggikan dominasi laki-laki dari perempuan. Selain itu (wijayanto, 2006) ada faktor lain juga yang mempengaruhi hal tersebut dan ini biasanya tertanam sejak dini; yaitu dengan adanya istilah-istilah seksist yang diberikan pada buku-buku teks di sekolah. 

Istilah-istilah yang ada sebetulnya bisa berupa tersirat atau bahasa seksis secara semantic (semantic sexism). Salah satu contoh “nama kepala sekolahku bernama pak Dani” “Rini bekerja sebagai pembantu”. Dari kedua kaliamat diatas secara literal tidak menunjukan sebagai bahasa seksist namun secara figurative itu adalah sebuah seksisme bahasa; karena ada pihak yaitu”pak dani” adalah kaum laki-laki yang mendapatkan jabatan tinggi, sedangkan “Rini” hanya sebagai pembantu. 

Dari hal seperti itulah bahasa-bahasa seksist muncul, seperti contoh ada kata sastrawan namun tak ada kata sastrawati, ada kata negarawan namun tak ada kata negarawati, dan banyak lagi yang lainnya. Meskipun hal tersebut diadakan maka tetap akan terlihat ganjil dan dianggap tidak cocok. Hal itu disebabkan karena adanya dominasi laki-laki terutama dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi budaya patiarki. 

Istilah “mahasiswa” sendiri apabila sedikit ditelusuri dari sejarahnya. Hal itu bermula dari kondisi manusia Indonesia sendiri yaitu dimana dulu orang yang dibolehkan bersekolah itu hanya kaum laki-laki saja bahkan itu-pun hanya dari kalangan elit saja. Bahkan pada jaman belanda yang bisa mengenyam pendidikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP dan AMS (Algemeene Middlebare School) setingkat SMA hanya beberapa orang saja, itupun pasti mereka dari kalangan tertentu. Jadi bisa dipastikan istilah mahasiswa ataupun siswa yang terlebih dahulu ada, disbanding mahasiswi atau siswi. 

Bagaimana respon dari mahasisiswi Indonesia?

Pernah suatu ketika saya mencoba menanyakan terhadap beberapa mahasiswi tentang adanya ketidaksetaraan dalam bentuk bahasa ini. Saya coba jelaskan beberapa fakta salahsatunya adalah penyebutan istilah “mahasiswa” ini. Ternyata jawaban yang saya dapatkan 9 dari 10 mahasiswi tidak menyadari tentang adanya ketidaksetaraan tersebut. pertanyaan selanjutnya yang saya ajukan adalah bagaimana kalau sudah tahu seperti ini? Apa yang akan anda lakukan? Anda tidak merasa tersudutkan dan lebih inferior daripada kaum laki-laki? 

Kesimpulan jawaban pertanyaan itu, semuanya tidak merasa keberatan dan mereka tidak merasa tertindas, mereka baik-baik saja. Dari jawaban tersebut bisa diketahui bahwa dalam konteks Indonesia kehidupan patiarki memang masih tertanam erat dan dipegang teguh, dan tidak salah apabila kata-kata dalam bahasa seksist-pun akan tetap terpelihara dan subur berkembang. 

Berbeda dengan yang terjadi di belahan Negara maju, disana muncul gerakan-gerakan yang mengkritisi adanya ketidaksetaraan dari berbagai sisi termasuk segi penggunaan bahasa. Di inggris misalnya penggunaan kata-kata yang berbau stereotip sudah mulai dihindari bahkan dilarang, karena itu akan menimbulkan kesenjangan dan penolakan dari kaum wanita. Maka solusi dari kaum pria, mereka lebih berhati-hati dan lebih memilih kata-kata yang bersipat umum –yang juga kiranya tidak memunculkan resistensi.

*penulis adalah mahasiswa konsentrasi Linguistik, Bahasa dan Sastra Inggris UIN Bandung

Sabtu, 02 Juni 2012

Senyumanmu

Seyum itu,
Dalam menusuk hatiku
Peka merangsang hasratku
Indah, buatku terpaku

Dulu, suatu waktu
Bahkan saat lihat dirimu
Bergetar tanganku
Dalam menuju getaranku
Kamu, senyumu selalu

Saat kau pegang pinggangku
Lalu berteduh dibelakang jiwaku
Aku rasa sedikit haru
Lagi-lagi dan lagi
Kamu, senyumu selalu

Perjalanan ini mungkin melelahkanku
Merobek kejenuhanku, mematahkan tulangku
Namun tak perlu ragu
Saja hanya dengan elihatmu
Kamu, senyumu selalu

Asep Koswara, Jogjakarta, 2012

Seksisme bahasa: fenomena stereotip gender

Oleh Asep Koswara

Secara hakikat, bahasa itu bersipat netral; yaitu hanya sebagai alat komunikasi antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia yang lainnya, dan tuhan dengan semua makhluknya. Namun ketika sudah masuk kepada ranah sosial yaitu kepada pengguna bahasa yang berbeda dalam wilayah-wilayah tertentu, maka kedudukan bahasapun mempunyai masalah tersendiri. Masalah yang terjadi salah satunya adanya stereotip gender antara kaum laki-laki dan perempuan. 

Semua permasalahan tersebut muncul karena terciptanya jenis bahasa tertentu terbentuk secara konvensi; yaitu dalam lingkungan masyarakat yang didalamnya tidak terlepas dari yang namanya budaya, kepercayaan dan lain, lain. Bahasa yang mengindikasikan adanya perbedaan antara gender; laki-laki dan perempuan disebut dengan bahasa seksist (sexism language). Salah satu bahasa yang mempunyai banyak seksism language didalamnya adalah bahasa inggris. Mengapa seperti itu? Mungkin seperti yang kita tahu bahwa keberadaan wanita dalam kehidupan sosial inggris dari jaman dahulu dan bahkan sampai saat ini- juga masih ada yang seperti itu, yaitu menganggap wanita dari sudut panang yang hina. 

Pada abad ke 18 ketika dua universitas besar di inggris yaitu Oxford dan Cambridge berdiri, yang ada hanyalah kaum laki-laki saja, sedangkan mereka kaum wanita tidak diperbolehkan untuk mengenyam bangku sekolah. Dari keadaan tersebut maka munculah dan berkembanglah bahasa-bahasa seksisme yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Kemudian hal tersebut berimpact pada bahasa-bahasa yang tercipta terutama penyebutan-penyebutan nama-nama profesi; sailorman, postman, dsb. Penambahan kata “man” disana memang tidak jelas apakah merujuk pada “men” (laki-laki) atau pada “all people” (semua orang baik wanita ataupun laki-laki). 

Dari seksisme bahasa secara gramatika yang seperti itu, kemudian menyebar ke beberapa Negara di dunia ini yang dimasuki oleh bahasa inggris, yaitu termasuk di Indonesia. Di Indonesia penyebaran dan penggunaan bahasa seksisme sunggung sangat marak dan salah satunya adalah pengaryh dari bahasa inggris. Sama halnya dengan penyebutan profesi dalam bahasa inggris, dalam bahasa Indonesia-pun mempunyai stereotif yang sama; contohnya sangat banyak misalnya kata “mahasiswa” mahasiswa mempunyai dua pengertian yaitu penyebutan pada “seorang laki-laki yang mengenyam pendidikan di Universitas” dan juga “sebutan kepada siapa saja yang sedang menempuh pendidikan di universitas baik laki-laki atau perempuan”, selain itu ada kata sastrawan namun tidak ada kata sastrawati, ada kata negarawan namun tak ada kata negarawati, ada kata agamawan namun tidak ada kata agamawati, dan banyak lagi yang lainnya. 

Dari kata-kata tersebut ditunjukan bahwa posisi wanita sangat disudutkan, bahasa yang harusnya dia punyainya sendiri, namun terpaksa harus masuk kedalam lingkaran istilah laki-laki. Kata wanita dan perempuan juga merupakan sebuah stereotip; kata “wanita” itu lebih terhormat daripada kata “perempuan” karena “perempuan” berasal dari kata “puan” yang artinya “harus menuruti suami” Di Indonesia berkembangnya bahasa seksisme ini sungguh sangat massif, terbentuk secara cultural yang bahka dipupuk di institusi pendidikan. Kita bisa lihat dan temui atau bahkan kita juga sudah mengalami tentang mata pelajaran yang sering disampaikan dalam pembelajaran di kelas terutama waktu sekolah dasar. 

Salah satu contoh, dalam pelajaran bahasa Indonesia dalam buku ataupun gurunya sendiri sering mengatakan kalimat-kalimat yang menempatkan posisi perempuan dalam kedaan rendah. Misalnya “ibu sedang memasak didapur” sedangkan “ayah membaca Koran”, ini menunjukan adanya stereotip yang kemudian melahirkan banyak kata-kata stereotip yang lainnya. Bagaimana reaksi kaum wanita? Kalau di eropa termasuk inggris dan amerika penggunaan kata-kata yang berbau stereotip seperti itu sudah mulai dihindari dan bahkan dilarang, karena itu akan menimbulkan kesenjangan dan penolakan dari kaum wanita. Bahkan yang lebih ekstrimnya lagi muncul gerakan-gerakan wacana kesetaraan dari kaum wanita tersebut agar bisa diperlakukan sama dengan kaum laki-laki. Maka respon dari mereka kaum laki-laki lebih mencari jalur aman dengan mengatakan kata-kata yang bersifat netral saja; artinya tidak ada unsure stereotif gender. Misalnya penyebutan “salesman” atau “salesgirl” diganti dengan yang lebih netral yaitu “salesperson”. 

Bagaimana dengan wanita Indonesia? 

Dari beberapa hasil analisis dan interview saya terhadap beberapa orang ternyata masih yang tidak peduli, dan bahkan sebagian wanita tersebut tidak mengetahui tentang stereotip bahasa tersebut. Bahkan kebanyakan mahasiswi juga mereka tidak mengetahui hal tersebut, dan bahkan setelah ditanya mau seperti apa? Mereka hanya menerima itu apa adanya. Ya sebetulnya saya juga bingung apakah ini perlu diluruskan atau tidak, karena permasalahannya ini sudah mengakar kuat secara kultural dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin selama para wanita tidak menjadikan itu sebagai sebuah masalah, maka baik-baik saja tak ada yang perlu dirubah. Namun disini saya hanya menginformasikan sekaligus membuka fenomena penggunaan bahasa yang dilihat dari sudut pandang gender, juga tugas saya sebagai seorang (calon) ahli bahasa, amiiin.. Hasilnya pengguaan bahasa yang ada masih banyak yang menyudutkan kaum perempuan dengan stereotip gender-nya baik secara gramatikal bahasa maupun secara semantic. 

*penulis adalah mahasiswa konsentrasi linguistik UIN Bandung

Rabu, 16 Mei 2012

Minder: Kurangnya pengetahuan akan potensi diri


Oleh: Asep Koswara

“Apa yang ada di depan kita dan apa yang ada di belakang kita bukanlah apa-apa dibanding dengan apa yang ada dalam diri kita”

Pernahkah anda merasa minder? Ya setiap orang pasti pernah merasa minder baik karena kemampuannya kurang, keterbatasan pisik dan yang lainnya. Minder muncul sebagai reaksi negative yang muncul dari dalam diri sebagai effek dari comparative consequence. Seseorang pada umumnya merasa minder karena dia membandingkan dirinya dengan kemampuan orang lain. Tidak dapat dipungkiri ini sering terjadi, dan kemudian ini memberikan effek kepada pikiran dan munculah rasa ketidakpercayaan diri. 

Minder adalah sebuah penyakit pikiran; yaitu dimana dikarenakan adanya konstruksi logika yang salah- yang ada dalam pikiran. Konstruksi logika tersebut muncul disebabkan oleh kebiasaan dan kekurang-tahuan akan potensi diri. Faktor yang paling berpengaruh pada munculnya rasa minder adalah karena adanya ketidak tahuan akan potensi yang ada dalam diri. Lalu kemudian dari kekurang-tahuan inilah konsep logika yang salah, terus terpelihara dalam diri. Kesalahan logika yang sering terjadi adalah seringnya seseorang membandingkan kelemahannya dengan kelebihan orang lain. Inilah yang saya sebut sebagai konsep konstrusi logika yang salah. Perlu kita analisis kembali tentang perbandingan tersebut. Saya pikir sangatlah tidak adil ketika kita membandingkan kelemahan kita dengan kelebihan orang lain, karena kita semua tahu bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Mungkin saja apa yang menjadi kelemahan kita adalah bagi orang lain adalah sebuah kelebihan dan begitupun sebaliknya apa yang didalam diri kita adalah sebuah kelebihan, itu adalah sebuah kelemahan buat orang lain.

Munculnya perbandingan yang tidak adil tersebut merupakan sebuah kekurang-tahuan akan potensi diri. Ada sebuah kutipan dari Michael Michalco “seekor singa akan terus menjadi seekor singa sepanjang hidupnya, begitupun binatang yang lainnya. Namun manusia bisa menjadi apapun dari berbagai jenis karakter dalam hidupnya” kutipan tersebut menyatakan bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi apapun ketika kita menginginkan dan bersungguh-sungguh untuk mencapainya. Meski banyak rintangan, kalau mau sungguh sungguh pasti akan mendapatkan semua yang dia inginkannya itu. Juga seperti yang tertulis diawal bahwa apa yang ada dibelakang dan didepan (maksudnya apa yang ada diluar diri kita), itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan potensi yang ada dalam diri. Potensi diri kita mempunyai peranan dan sangat luar biasa tentunya karena kita semua manusia mempunyai potensi sebagai seorang pemenang. Ketika dari janin-pun kita tahu bahwa kita adalah seorang pemenang dari ratusan pelari (yaitu sperma) berlari menuju sel telur dan hanya satu yang berhasil yaitu kita sekarang. 

Pengetahuan seseorang akan dahsyatnya kekuatan otak juga menjadi sebuah faktor yang mempengaruhi adanya perbandingan yang tidak adil tersebut. Otak manusia merupakan organ yang paling penting dalam tubuh manusia. Berpungsi mengatur dan mengontrol seluruh organ tubuh. Otak manusia tidak pernah mengalami rasa lelah, dan juga bisa memikirkan beberapa hal dalam satu waktu. Bahkan dalam keadaan tidur-pun manusia masih tetap bisa berpikir. Dahsyatnya otak manusia ini, menjadi investasi yang luar biasa yang ada dalam diri manusia, sehingga apabila tidak difungsikan dengan baik akan sangat sayang sekali. Jadi pengetahuan akan tofography maupun fungsi otak, merupakan hal yang perlu diketahui jika kita tidak ingin merasa minder. Mengenal potensi diri adalah suatu hal yang sangat penting ternyata. Sebagai sebuah dasar penting akan perbuatan dan tindakan yang selanjutnya dilakukan oleh seseorang. 

Dalam hadis juga dikatakan bahwa “barang siapa yang mengenal dirinya pasti akan mengenal tuhannya”. Namun disini yang harus diketahui adalah bukan hanya mengenal diri saja tanpa melakukan sebuah perubahan, namun juga action yang jelas untuk mengembangkannya. Bagaimana cara mengembangkannya? Ada sebuah kutipan dari (Hernowo 2004) “didalam diri-lebih-dalam (inner-self) setiap insan, ada “sepasang sayap” yang siap membawa sang diri menjelajahi hal-hal yang tidak terbayangkan. Sepasang sayap itu bernama imajinasi” menurut Hernowo kita bisa menjelajah dan bahkan bisa mencapai apa yang kita inginkan dengan cara berimajinasi. 

Apa itu imajinasi? Imajinasi adalah fantasi kreatif. Imajinasi dilakukan dengan menggunakan hukum “pengandaian” misalkan ketika kita membandingkan diri kita dengan seorang penulis terkenal maka pengandaiannya adalah “andaikan saya seorang penulis terkenal, maka..?” ingat pengandaian disini akan merangsang diri kita untuk melakukan action, itulah imajinasi. Kalau hanya berfantasi, melamun atau mengandaikannya saja tanpa adanya action, itu bukanlah imajinasi. Namun imajinasi ini juga harus disertai dengan, apa yang Mario Teguh sebut dengan konsep “Kepantasan”. Konsep ini juga menjadi sebuah keharusan yang harus diterapkan untuk membangkitkan potensi yang ada dalam diri. Imajinasi akan sia-sia tanpa adanya kepantasan. Misalnya ketika kita sedang memikirkan dan melakukan action untuk menjadi seorang peminpin besar, namun kita tidak mempunyai kepantasan (yang mana didalamnya adalah sikap) maka akan sangat sulit buat terwujud. 

Dari sekian makhluk tuhan yang ada di duni ini, manusia-lah yang mempunyai perwujudan bentuk maupun potensi diri yang sempurna dengan mahluk yang lainnya. Pengenalan akan potensi diri akan sangat berharga dan merupakan hal yang penting untuk bisa memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Juga sebagai penutup dan pengobat masalah-masalah dan penyakit yang ada dalam diri yaitu salah satunya adalah rasa “minder”. Semoga setelah kita mengetahui bahwa manusia adalah ditakdirkan sebagai seorang pemenang yang mempunyai potensi luar biasa, tidak akan ada yang namanya minder lagi dalam setiap langkah kita. Banyak-banyaklah bersyukur…!!! 

 *Penulis adalah Mahasiswa Bahasa Inggris: konsentrasi Linguistik UIN Bdg